PETUALANGAN SI TUNGKU ARANG




Karya Nana Adoma
Judul asli: The Advetures of A Coalpot
Cerita dari Ghana

Di beberapa tempat di Ghana, banyak orang yang mengerjakan pekerjaan rumahnya masih menggunakan cara lama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Tapi sekarang cara-cara modern mulai menggantikan cara-cara kuno tersebut, seperti yang diceritakan dalam kisah ini.

Di dalam dapur sebuah rumah milik seorang wanita bernama Mame Nyame, terdapatlah sebuah tungku tanah liat yang sudah tua. Tungku tanah liat tua tersebut dikitari benda-benda seperti panci-panci, teko, sendok, pisau dan berbagai macam benda lain yang biasa ditemui di dapur. Benda-benda ini tinggal di dapur seperti orang-orang yang tinggal bersama keluarganya dan ketika di dapur tidak ada orang mereka saling bercakap-cakap dan satu sama lain sangat menikmati saat-saat tersebut. Benda-benda ini juga bercakap-cakap dengan Yaa. Yaa adalah anak perempuan Mame Nyame. Dia sangat menyukai semua penghuni dapur dan dia adalah teman mereka, jadi benda-benda itu juga berbicara dengannya. Tetapi ketika ada orang lain datang, mereka tiba-tiba diam dan tidak bicara lagi. Hanya Yaa satu-satunya orang yang tahu kalau semua penghuni dapur bisa bicara, dan dia tidak menceritakannya pada orang lain.
Tungku tanah liat adalah nyonya dapur. Semua sangat patuh kepadanya karena dia adalah penghuni tertua dan melakukan semua tugas memasak.
Suatu sore di hari Sabtu, Mame Nyame membawa pulang sebuah benda mungil yang lucu.
“Apa itu,bu?” Tanya Yaa.
“Itu tungku arang,”jawab ibu.”Kamu menggunakannya untuk memasak. Tungku ini sangat ringan dan kau bisa membawanya ke halaman jika kau ingin. Sekarang ibu tidak perlu lagi bekerja keras dengan tungku tanah liat yang panas itu.”
Yaa diam tidak berkata-kata. Penghuni dapur juga diam seribu bahasa. Mame Nyame meletakkan tungku arang itu di atas lantai dan kemudian pergi keluar. Tak seorangpun yang memandang tungku arang itu. 
“Tungku tanah liat yang malang,”kata Yaa.”Aku yakin ibu tidak bermaksud seperti itu. Ibu pasti masih akan menggunakanmu untuk memasak. Ibu tidak akan menggunakan tungku arang itu.”
Tapi Yaa salah. Ibu benar-benar menggunakan tungku arang itu. Ibu membawanya keluar halaman dan mulai melakukan tugas-tugas memasak dengan tungku itu di sana.
Tungku arang itu berada di halaman untuk waktu yang sangat lama. Berkali-kali dia mencoba mengirimkan pesan kepada tungku tanah liat, tetapi dia tidak menjawab dan Mame Nyame sama sekali tidak membawanya ke dapur. Hingga pada suatu sore di hari Sabtu setelah makan, Mame Nyame membawa tungku arang itu masuk ke dapur dan melemparkannya ke sudut, dan kemudian pergi ke luar lagi. Semua yang berada di sana terdiam. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan tungku tanah liat dan seluruh penghuni dapur kembali melihat tungku arang itu. Dia sama sekali tampak berbeda. Sisi-sisinya tidak lagi bersih dan bercahaya, tapi kotor, tua, dan bengkok. Tungku arang itu tergeletak dengan satu sisi di sudut dapur tanpa berkata-kata, sampai Yaa masuk dan mengangkatnya. Kemudian diperkenalkannya tungku arang itu pada tungku tanah liat.
“Hai?” kata tungku tanah liat.”Senang sekali akhirnya saya bisa bertemu dengan anda, nyonya saya,”
“Nyonyamu?” tungku tanah liat bertanya padanya.”Siapa nyonyamu?”
“Anda,”jawabnya.”Anda adalah nyonya di dapur ini dan saya adalah bagian darinya. Mame Nyame menggunakan saya di halaman, tapi..saya benar-benar bagian dari dapur ini. Saya sangat gembira sekarang dapat berada di dapur ni sekarang sehingga saya bisa mendengarkan dan mematuhi peintah anda.”
“Oh, kau lihat?" Kata Yaa kepada tungku tanah liat. "Dia bersungguh-sungguh. Aku sudah bilang kan padamu kalau dia memerlukan teman?”
Sejak saat itu Tungku Tanah Liat tidak bisa lagi marah kepada Si Tungku Arang.”Selamat datang!” katanya.”Aku berharap kau akan gembira bersama kami.”
“Oh, tentu saja aku akan bahagia,”jawab siTungku Arang.
“Sssshhh! Dengar! Ada orang di luar.”kata panci yang berada paling dekat dengan pintu. Mendadak dapur menjadi sunyi senyap. Pintu terbuka dan masuklah Mame Nyame.
“Oh, di sini kau rupanya!” katanya pada Yaa. “Aku cari kau ke mana-mana. Ayo, bawa tungku arang itu ke luar dan bantu memasak!” Dia mengambil beberapa pisau dan sendok besar dari laci seraya mengangkat panci, kemudian kembali ke luar.
Yaa mengisi Tungku itu dengan beberapa bongkah arang dan membawanya kepada ibunya. Hari ini hari Sabtu, mereka kan menghabiskn waktu yang lama, masak besar!
Akhirnya Mame Nyame membawa kembali Tungku Arang masuk ke dalam. Dilemparkannya benda itu ke sudut ruangan dan meninggalkannya di sana. Kemudian di ke luar lagi. Tungku Tanah Liat melihat ke rahnya dengan sedih.
“Kenapa?” tanya sendok sambil menyorongkan badannya ke luar dari laci.
“Mame Nyame sedang sedang berbicara dengan seorang wanita,” kata Tungku Arang.
“Membicarakan aku?”Tanya Tungku tanah liat.
‘Ya,” jawab Tungku Arang.
“Aku juga mengira begitu,”kata Si tungku Tanah liat.”apakah berita sedih?”
“Ya,”jawab tungku tanah liat dengan lirih.
Diam-diam Yaa masuk dapur dan dia juga tampak sedih. Dia angkat Tungku Arang dan membawanya ke dekat Tungku Tanah Liat dan kemudian dia sendiri duduk di antara keduanya. “Aku tidak akan membiarkan kalian pergi. Kalian adalah teman-temanku” katanya.
Panci,sendok, teko, pisau, dan semua penghuni dapur tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tungku Tanah liat menjelaskan pada mereka bahwa Mame Nyame hendak memotong-motong Tungku Arang dan membuangnya.” Dia juga telah memutuskan untuk membuang aku juga.”
“Kenapa?” tanya pisau dan sendok.
“Karena tungku arang terlalu cepat panas dan menghabiskan terlalu banyak arang. Sementara..aku sendiri sudah terlalu kotor,”jawab Tungku Tanah Liat.” Begitu yang dikatakan oleh teman Mame Nyame. Dia punya kompor listrik yang sangat bersih dan mudah digunakan. Dan dia bilang itu jauh lebih baik dari pada aku dan Tungku Arang. Sekarang Mame Nyame menginginkan kompor seperti itu dan akan membuang kami.”
“Tidak!” kata Yaa mulai menangis.
“Jangan menangis, anak kecil…” kata Tungku Tanah Liat.” Aku sudah tua. Barangkali saatnya aku pergi.”
“Dan kau sudah tidak suka lagi tinggal di sini?” tanya Tungku Arang.
“Oh, ya. Aku sangat senang sekali tinggal di sini,” jawab Tungku Tanah Liat.”Apalagi ada Yaa sayang. Aku sudah mengenalnya sejak dia masih bayi. Sering dia datang padaku ketika sedih dan aku membuanya hangat dan gembira lagi.”
Dengan lembut Yaa membelai salah satu sisi Tungku Tanah Liat yang mulai memerah.
“Kau telah menjadi bagian dari keluarga ini,” kata Tungku Arang.
“Aku bangga sekali mengatakannya bahwa aku telah menjadi bagian dari mereka.” jawab Tungku Tanah Liat.”Aku bisa menceritakan padamu tentang segala hal yang terjadi pada mereka selama bertahun-tahun. Tapi kami akan lebih gembira jika mendengar tentang dirimu.”
Maka Tungku Arangpun mulai meceritakan kisahnya.
“Satu-satunya hal yang bisa kuingat tentang hari-hariku pertama kali adalah bahwa aku adalah sebuah kaleng besar yang penuh berisi kerosin.” katanya.
“Aku dulu sangat bersih dan mengkilap dan tak ada lubang di sana-sini. Aku benar-benar baru. Waktu itu aku masih berada di sebuah kota di Eropa. Jumlah kami banyak sekali dan semua penuh dengan kerosin. Kemudian seorang laki-laki membawa kami ke sebuah kapal. Kaleng-kaleng yang lain memberitahu aku ke mana kami akan pergi. Aku berada tepat di bagian kapal yang paling bawah jadi aku tidak bisa melihat diriku sendiri. Mereka bilang kami akan di bawa ke beberapa Negara yang berbeda menyeberangi lautan.” Tungku Arang berhenti sejenak untuk mengambil napas.
Terdengar suara gaduh dari dalam laci. Pisau, sendok, dan garpu mulai bergerak begitu mendengar kata Eropa dan laut. Beberapa dari mereka datang dari Inggris dan tahu betul tentang Eropa dan lautan.
“Apa yang kemudian terjadi padamu?”tanya Tungku Tanah Liat.
‘Kami berada di kapal dalam waktu yang lama sekali.”jawab Tungku arang.”Kami berada dalam perjalanan dari Eropa menuju Afrika.”
“Di mana kau turun dari kapal?’tanya panci saus.
“Di Pelabuhan Harcourt Nigeria.”
“Terus apa yang terjadi padamu?” tanya tungku Tanah Liat ingin tahu.
“Seorang wanita membeli aku,”jawabnya.”Dan dengan cepat dia menghabiskan kerosin yang berada di dalam diriku. Tapi itu bukan akhir segalanya, sebab kemudian dia membersihkanku dengan sangat hati-hati dan menggunakan aku untuk mengangkut air. Dia begitu baik padaku dan menjaga aku tetap selalu bersih dan mengkilap.
“Aku bekerja untuk wanita itu hingga suatu hari dia menjatuhkan aku dan sebuah batu membuat aku berlubang. Aku tidak lagi digunakan untuk mengangkut air. Kemudian wanita itu menjual aku pada seorang laki-laki yang membuat benda-benda dari kaleng tua. Dia membuat lubang lebih banyak lagi di tubuhku dan menjadikan aku sebuah tungku arang seperti sekarang.”
“Tapi bagaimana kau bisa sampai di sini?” Tanya panci saus.”ini bukan Pelabuhan Harcourt.”
“Aku tiba dengan sebuah lori,”jawab Tungku Arang. “Ada banyak kaleng lain di sana dan begitu lori itu mulai berjalan, kami semua mulai gaduh. Mula-mula aku mencoba bernyanyi tapi kaleng-kaleng yang lain berteriak-teriak dan memukul-mukulsehingga aku pun ikut-ikutan. Kami semua sangat menikmati perjalanan itu, tapi kupikir penegmudi lori tidak demikian halnya. Kami semua benar-benar ramai dan gaduh.
“Akhirnya kami tiba di sebuah pasar dekat sini. Lori berhenti dan pengemudi itu menurunkan kami semua. Aku berada di pasar itu dalam jangka waktu yang lama hingga suatu hari Mame Nyame datang dan membeli aku. Tibalah aku disini. Itu akhir dari kisahku.” Tungku arang berhenti bicara dan tersenyum pada semua yang berada di dapur.
“Kau gembira sekarang bersama kami?” tanya Panci Saus.
“Aku tidak senang ketika aku berada sendiri di halaman.”jawab Tungku Arang. “Tapi aku sangat gembira di sini bersama kalian semua dan Tungku Tanah Liat, nyonya dapur kita ini.”
“Dan kini Mame Nyame hendak membuang kalian berdua dari dapur ini,”kata Meja Dapur.
“Tidak!”jerit Yaa keras sekali. “Aku tidak kan membiarkannya!”
“Ayolah, Yaa,”kataTungku Tanah Liat.”Sudah larut malam. Kau harus pergi tidur sekarang dan begitu juga dengan kami. Kita akan memikirkannya kembali besok pagi.”
“Aku tidak akan membiarkan ibu membuang kalian berdua!” Kata Yaa lagi.”aku tidak akan membiarkan ibu melakukannya! Aku akan mencari cara.” Kemudian dia pergi keluar dengan sedih.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Mame Nyame masuk ke dapur. Dua orang laki-laki mengikutinya dari belakang dengan membawasebuah kotak besar mengkilat yang tampaknya sangat berat. Mereka meletakkan kotak itu di lantai dapur. Yaa datang setelah itu.
“Apa itu?” tanyanya, seraya menunjuk kotak putih yang besar itu.
“Itu kompor listrik,”jawab Mame Nyame.
“mengapa kamu menginginkan kompor listrik?”tanya Yaa.”Kita sudah punya tungku arang dan tungku tanah liat. Mereka bisa membantu kita memasak dengan baik. baik sekali.”
“Tapi kompor listrik lebih cepat dan lebih bersih,” kata Mame Nyame.”Kau akan suka ketika memakainya.”
“Tidak!” jawab Yaa.
“Di mana kita akan meletakkan kompor listrik itu?”tanyasalah satu laki-laki tersebut kepada MameNyame. “Apakah kita perlu memecahkan tungku tanah liat itu dan meletakkan kompor listrik ini sebagai gantinya?”
“Tidak!” teriak Yaa. Dia berlari ke arah tungku Arang. “Lihat, bu, kita bisa meletakkan kompor listrik di sini, di antara Tungku Tanah Liat dan dinding. Jadi kita bisa memasak dengan menggunakan kompor listrik sementara sambil menggunakan Tungku tanah Liat untuk meletakkan panci dan wajan.”
“Oh, benar,”kata Mame Nyame. “Ya, itu yang akan kita lakukan dengan Tungku Tanah Liat. Kita tidak perlu memecahkannya.”
Orang-orang itu pun mulai memindahkan kompor listrik ke sudut ruang dapur. Ketika itu mereka melihat Tungku arang. “Apakah kita perlu membuang tungku arang itu?”
“Tidak!”teriak Yaa. “Lihat, bu,kita bisa meletakkan Tungku Arang di sebelah Tungku tanah Liat. Kita bisa menggunakannya jika kompor listrik itu mati. Tungku arang mudah dinyalakan dan bisa dibawa ke mana-mana.”
“Oh, benar,”kata Mame Nyame. “Ya, itu yang akan kita lakukan dengan dengan tungku arang ini. Kita tidak perlu membuangnya.”
Dengan sangat hati-hati Yaa meletakkan Tungku tanah Liat di sebelah tungku arang,sementara orang-orang itu meletakkan kompor listik di sudut dapur. Setelah itu bersama-sama Mame Nyame mereka keluar dari dapur.
“Terima kasih, kau sangat pandai,’ tungku Arang berakata pada Yaa.”tungku tanah Liat dan aku amansekarang.”
“Ya, terima kasih gadis kecil,”kata Tungku tnah liat. ‘selama bertahun-tahun aku telah menjagamu, kini giliranmu sekarang membantu aku. Tapi lihatlah kompor listrik itu. Dia akan mengerjakan semua pekerjaan dan aku menjadi nyonya di dapur ini.”
“Biarkan saja dia bekerja,”jawab Tungku tanah Liat. “dia masih muda dan kita sudah tua. Biarkan dia bekerja dan menjadi nyonya di dapur ini. Kita akan duduk bersama Yaa dan saling bertukar cerita sepanjang waktu. Kita sudah menyelesaikan tugas kita,”
Perlahan Tungku Tanah Liat mulai tersenyum.” Kau benar,” jawabnya. “Aku tidak inginmenjadi nyonya lagi di sini. Biarkankompor listrikyang melakukannya. Aku akan duduk bersamamu di sini dan bercerita tentang semua cerita yang pernah kita dengar.”
“Baik,” sahut Tungku Arang.
“Baik.” kata Yaa juga. Dia duduk di bawah dan mengusap salah satu satu sisi Tungku tanah Liat dengan lembut dan kemudian mengusap Tungku Arang. Ketiganya saling tersenyum ke arah satu sama lain. “Kita aman sekarang,"jawab Yaa. “Siapa yang akan memulai cerita pertama?”

SEPATU KAYU


Karya Annie M.G Schmidt
Judul asli Wooden Shoes

Cerita dari Belanda

Banyak orang mengira bahwa setiap orang di Belanda masih mengenakan sepatu kayu. Tentu saja, tapi hanya sebagian, terutama para petani dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Tapi, sepatu kayu yang asli benar-benar sulit dicari, seperti yang dialami Jan yang berusaha mendapatkannya untuk seorang turis asing.

Hari itu Sabtu di bulan Maret dan beberapa motor tampak parkir di depan sebuah petatkraam, tempat di mana kentang goreng dan es krim dijual. Jan meletakkan sepedanya di dekat salah satu motor dan berjalan ke dalam. Diletakkannya beberapa buah uang logam di depan counter dan berkata’, Es krim satu.”
Kees, mengenakan jas putihnya, berdiri di belakang counter sedang menggoreng kentang. “Di cuaca dingin begini?” tanyanya.”Lihat, salju juga masih turun?! Yeah, tapi tentu kau bisa mendapatkannya.”
Di sudut toko, semua pengendara motor sedang duduk-duduk bersama. Di tengah-tengah , seorang asing sedang mencoba menerangkan sesuatu kepada mereka. Dia mengangkat kedua telunjuknya dan membuat gerakan seolah-olah hendak menunjukkan seberapa besar ikan yang telah ia tangkap.
“Pasti ikan yang telah dia tangkap kecil sekali.” Pikir Jan,”hanya sebesar sepatunya.”
Para pengendara motor memandang ke arah orang asing itu dan menggelengkan kepala.
“Yang sedang berdiri itu orang Amerika,”kata Kees.”Turis.”
Turis! Jan tahu turis dari televisi, tapi dia belum pernah bertemu langsung. Mereka tidak pernah datang ke sini karena memang tidak ada yang menarik di desa kecil ini- yang ada hanyalah rumah-rumah pembibitan tomat dan timun dan juga pembangunan perumahan.
Dan laki-laki itu adalah turis! Dia tampak biasa saja, dia memakai celana dan sweater seperti para lelaki di desa ini.
“Dia ingin membeli sepatu kayu,” kata Kees.”Sepatu anak-anak untuk anak perempuannya. Dia sedang menunjukkan ukuran sepatu itu. Dia datang secara khusus dari Rotterdam. Naik Bis. Hanya untuk membeli sepatu kayu tersebut. Aku sudah bilang padanya,’ Kau seharusnya pergi ke kota, carilah di toko souvenir.’ Dia bilan TIDAK, dia ingin sepatu asli seperti yang dipakai oleh orang-orang di sini. Kau tahu toko di mana dijual sepatu kayu Jan?”
Jan menjilati es krimnya. Es krim pink dalam contong.
“Pertanyan yang sulit,”Kees melanjutkan.”Dan tak seorang pun disini yang bisa menjawabnya. Lagipula, siapa yang masih memakai sepatu kayu? Orang-orang Amerika itu mengira bahwa kita semua di sini masih memakai sepatu kayu. Bukankah itu aneh?”
“Ibuku tahu di mana terdapat toko sepatu kayu,” kata Jan.
“Kau dengar itu?”teriak Kees kepada pelanggannya.’Anak laki-laki ini tahu di mana bisa mendapatkan sepatu kayu!”
Setiap orang memandang Jan dengan rasa hormat. Jan berharap agar Kees diam.
Tak lama kemudian Jan sudah berada diluar petatkraam dengan menggenggam sepuluh guilder di tangannya pemberian orang Amerika yang penuh senyum itu. Dia juga membawa seutas benang yang menunjukkan ukuran sepatu yang diinginkan orang Amerika itu. Jan mengambil sepedanya dan mulai mengayuh pulang. Tiba-tiba, ia teringat kalau ibunya sedang tidak berada di rumah sampai nanti makan malam. Tapi barangkali ayahnya tahu di mana toko itu berada.
Ayahnya sedang berada di ruang duduk bermain catur bersama Fred, kakak Jan.
“Yah, tahukah kau di mana toko sepatu kayu berada?’
“Kau memerlukan sepatu kayu untuk apa?” tanya ayahnya.
Ada orang Amerika di petatkraam. Dia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan sepatu kayu untuk anaknya.”
Ayah berdiri.”Sungguh bodoh!” dia berteiak marah. “Orang-orang asing ini mengira kita masih berjalan menggunakan sepatu itu? Di mana laki-laki itu?”
“Di petakraam,” Jan mengulangnya.
“Katakan padanya ini adalah negara modern,” geram ayahnya. “Kita punya pabrik-pabrik besar seperti di Amerika. Dan pelabuhan terbesar di dunia. Ya pak, Rotterdam! Katakan padanya bahwa kita bukan petani yang memakai sepatu kayu, tapi sebuah Negara yang bangga dengan SISTEM PENGAIRAN. Selama ratusan tahun kita telah menutup lautan dan kita melakukannya dengan membuat saluran air, bendungan dan jembatan!”
Ayah memukulkan kepalan tangannya ke atas meja. Jan meloncat ke belakang,terkejut. Perlukah dia mengatakan semua ini kepada orang asing tersebut? Yang bahkan tidak tahu bahasa Belanda?
Dan bahkan kini Fred ikut-ikutan berteriak pula,”Tidak,kita tidak memakai sepatu kayu! Kita mengendarai tiga juta mobil yang menyebabkan lalu lintas macet. Dan oh, betapa bangganya kita dengan Negara ini! Di mana ikan terapung-apung mati di sungai, burung-burung tersumbat pernapasannya oleh minyak, di mana pabrik-pabrik mengeluarkan asap berbau busuk hingga meracuni kita semua. Dan di mana semua danau tercemar!”
“Diam!” teriak ayah.”Penjelasanmu sama sekali tidak memecahkan masalah. Mengapa kamu tidak pergi ke tukang cukur dan mencukur rambut panjangmu yang acak-acakan itu?”
Fred balik berteriak. Dan Jan berbalik dan berlari keluar rumah. Selalu seperti itu. Mula-mula ayah dan Fred bermain catur bersama dan kemudian, tiba-tiba BANG – pertengkaranpun terjadi! Dan semua ini gara-gara dia menanyakan di mana dia bisa membeli sepatu kayu!
Satu-satunya yang ingin dilakukan Jan adalah kembali ke petatkraam dan mengatakan pada turis itu bahwa dia tidak tahu di mana toko sepatu kayu itu. Tapi kata ‘danau’ terngiang dalam benaknya. “Hennie,” pikirnya.”Hennie punya sepatu kayu.”
Hennie adalah teman sekelasnya yang tinggal di rumah perahu di Zuiderplas. Sama sekali tidak jauh.
Jan menuju Dike Road yang ramai dan melewati jalan desa. Sepanjang sisi jalan desa terdapat rumah-rumah, sementara di sisi yang lainnya adalah rumah-rumah untuk pembibitan – panjang sekali deretan rumah-rumah pembibitan untuk tomat dan timun itu, berbaris-baris seolah-olah tidak berujung.
Tiba-tiba angin bertiup di atas kepalanya – angin yang sangat keras. Sekali-sekali angin itu menghantam sepedanya oleng ke kiri ke kanan, tapi Jan sudah terbiasa dengan keadan itu. Ibunya selalu mengeluh,”Anak kecil mengendarai sepeda di tengah lalu lintas. Dia baru delapan tahun.”Tapi ayahnya berkata,” Jangan terlalu mengada-ada. Semua anak juga mengendarai sepeda di tengah lau lintas, dan kau tahu,anak itu memegang stang sepedanya lebih baik daripada dirimu.” Ya, itu memang benar.
Jan berbelok ke kiri dan menyeberangi jembatan. Di sepanjang jalan yang lebar dan sunyi itu terdapat sebuah kanal besar. Dua kali dalam kehidupannya dia pernah jatuh ke dalam kanal itu – sekali ketika dia sedang memancing, dan kedua kalinya ketika dia tengah mengendarai sepedanya. Ayah berkata,”Jika kau terjatuh sekali lagi kedalam kanal itu, aku akan ambil sepedamu dan kau akan berjalan kaki ke sekolah!”
Beberapa burung kecil terbang di atas kepalanya. Sesekali dilihatnya sesuatu berlompatan di dalam air, ikan kecil-kecil. Tidak semua ikan kecil itu mati, pikir Jan sementara dia berusaha menerobos angin yang menerpanya. Dan lihat berapa bayak burung yang belum mati!
Beberapa saat, matahari muncul dan tampak danau di depannya sangat luas dan sangat biru. Hampir tak terlihat satupun kapal yang sedang berlayar, terlalu awal tahun ini.
Dia menemukan Hennie di atas dek sedang memandikan anjingnya di dalam ember.
“Hello,”sapa Jan.
“Hi,”jawab Hennie.
“Kau masih punya sepatu kayu?”
“Punya apa?”
“Sepatu kayu. Kau memakainya ketika perayaan Queen’s Day.”
“Oh ya,”kata Hennie, sambil melanjutkan memandikan anjingnya. Anjingnya tampak sama sekali tidak suka.
“Aku ingin membelinya,”kata Jan,”seharga sepuluh guilder.”
Hennie melepaskan anjingnya dan makhluk itu mengibas-ngibaskan tubuhnya.
“Aku tidak bisa melakukan ini.”katanya.”Aku tidak bisa menerima uang.”
“Mintalah ijin pada ibumu.”kata Jan.
“Dia sedang tidak ada di rumah. Dia pergi mengunjungi nenek.” Tiba-tiba kemudian Hennie berkata,”Aku bisa tukar sesuatu.”
“Tukar sesuatu?”Tanya Jan.
Hennie menunjuk sepatu milik Jan. Jan mengenakan sepatu corduroy warna biru dengan sol karet. Jan ragu-ragu. Jika dia menukar sepatunya dengan sepatu kayu itu, dia bisa menyimpan sepuluh guilder. Uang itu ada dalam kantongnya. Bisakah dia membeli sepatu yang sama dengan uang sepuluh guilder? “Okay,” katanya dan melepaskan sepatunya.
Segera Hennie mengenakannya dan berlarian dari atas ke bawah dek.
“Ambil sepatu kayu itu sekarang!” kata Jan tidak sabar.
Hennie masuk ke dalam. Anjingnya menyalak-nyalak garang ke arah Jan. Bulu-bulunya masih penuh dengan busa sabun.
“Ini dia,”katanya sambil terengah-engah ketika akhirnya dia kembali dengan sepatu kayu di tangannya.”Sepatu ini disimpan di lemari pakaian. Apakah kau bisa membawanya dengan mengendarai sepeda?”
Jan mengangguk sambil memeriksa ukuran sepatu kayu tersebut dengan seutas benang. Pasti akan agak sedikit kebesaran, tapi tidak terlalu buruk. Sepatu ini pas sekali dengannya. Hm, sungguh benda berbunyi yang aneh!
“Terima kasih, ya,”katanya.”Selamat tinggal, Hennie.”
Cuaca berubah menjadi begitu buruk. Angin bertiup dengan lebih kencang. Hujan mulai turun dari awan hitam yang bergumpal-gumpal.
Ketika Jan mengendarai sepedanya, sepatu kayu itu terus berayun –ayun di depan pedal sepedanya. Sekali lagi, dia harus melewati jalan lebar yang penuh dengan angin besar yang menerpa dirinya. Ketika dia hendak berbelok menuju Dike Road, jauh sebelum dia mencapai jembatan – tiba-tiba..terjadilah! Salah satu sepatu kayu itu terjatuh. Dia mencoba menangkapnya dengan kaki, tapi di kehilangan keseimbangan dan angin besar mendorongnya masuk ke dalam kanal - bukan hanya dirinya, tapi juga sepeda dan semuanya!
Jan tersengal-sengal dan meludah sambil mencengkeram alang-alang sepanjang kanal hingga tercabut. Dia tidak perlu berenang. Sisi kanal itu ternyata dangkal. Ketika dia berhasil merangkak ke tepian, dia bisa mencapai stang sepedanya tapi kemudian mendorongnya masuk ke dalam kanal.
Satu dari sepatu kayu itu tergeletak di tengah jalan. Dan yang lain terapung-apung seperti sebuah kapal di tengah kanal.
“Aku tidak akan mengambil benda bodoh itu,”teriak Jan.”Biar saja orang Amerika itu pergi.Aku kehilangan sepatuku, dan sekarang, pasti ayah akan mengambil sepedaku!”
Tapi dia kebmali lagi ke kanal dan tak lama kemudian sudah berdiri di jalan dengan membawa sepatu kayu itu. Dengan rasa marah,dia meluruskan stang sepedanya, meletakkan sepatu kayu itu di dalam keranjang sepedanya, dan mulai megayuh sepedanya pulang dengan kaki beku. Yang dirasakannya sekarang angin bertiup semakin dingin ke celah-celah jaket nilonnya.
Dia berbelok ke tikungan jalan dan mulai memasuki Dike Road kembali. Mobil dan motor melewatinya dekat sekali. Tak seorangpun melihat ke arahnya. Tak seorangpun yang tahu dia basah kuyub.
Dan ada satu hal yang memburuk. Angin benar-benar berada di belakang punggungnya. Badai pun sudah menunggu.
Hari hampir gelap ketika Jan tiba di petatkraam. Kees satu-satunya orang yang ada di sana.
“Astaga!”kata Kees.”Orang Amerika itu baru saja pergi!”
“Ke mana dia pergi?” Tanya Jan.” Aku sudah mendapatkan sepatu kayu itu.”
“Aku tidak tahu. Barangkali ke Rotterdam. Sekarang sudah jam enam. Semua orang pergi untuk makan malam.”
Kees menatap anak laki-laki kecil itu.”Kau tampak pucat sekali,”teriaknya.”Kemarilah! Kau baru saja masuk ke dalam air?”
Jan berlari keluar toko dengan kepala tertunduk. Dia merasa kesal. Satu-satunya keinginannya adalah bertemu ibunya. Ketika dia tiba, dia baru teringat bawa ibunya tidak sedang berada di rumah. Pasti akan sama saja, pikirnya. Terbayang sudah apa yang ibu katakana,”APA yang terjadi? DIMANA sepatumu? CEPAT pergi tidur. Besok kau akan kena pneumonia!”
Sekarang diam-diam dia bisa naik ke kamar, mandi, dan mengeringkan pakaiannya. Hari Senin nanti, dia akan membeli sendiri sepatu yang baru. Lembaran sepuluh guilder basah di sakunya, tapi untung dia masih memilikinya.
Ketika dia tengah berjingkat-jingkat menaiki anak tangga, didengarnya ayahnya tengah berbicara dengan Fred di ruang duduk. Dia berdiri kaku seperti tongkat besi. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris! Diam-diam Jan membuka pintu ruang duduk.
Di sana di kursi kulit dekat lampu, duduk orang Amerika itu. Fred sedang berbicara dengannya separuh menggunakan bahasa Inggris, separuh lagi menggunakan bahasa Belanda, sedang berteriak-teriak tentang polusi udara.
“Tidak. Tidak!” teriak ayah pula. “SISTEM PENGAIRAN!”
Dan orang Amerika itu mendengarkan mereka dengan sopan. Tiba-tiba dia melihat Jan. Dia bangkit dan berkata,”Hello!”
“Demi Tuhan, itu dia!” kata Fred.
“Dari mana saja kau?” tanya ayah.”Kami sangat khawatir.”Fred pergi mencarimu dan dia kembali bersama laki-laki ini.”
Jan memegang sepasang sepatu kayu di depannya.
“Anak ini basah kuyub!” teriak ayah. “Apakah di luar sedang hujan deras? Oh, dengar, apakah kau terjatuh ke dalam selokan LAGI?”
“Aku pergi mencarimu di petatkraam,”kata Fred.”dan dia tiba-tiba muncul dan bertanya tentang bis. Dia bilang bahwa kau belum kembali. Kemudian aku bilang,’Tuan, jika adikku telah berjanji untuk untuk mendapatkan sepatu kayu itu, dia pasti mendapatkannya, meskipun dia harus mencarinya di Kutub Utara sekalipun!”
“Di dalam kanal,”teriak ayah,”aku tak percaya. Cepat mandi dengan air hangat, sementara aku akan membuatkanmu secangkir coklat.”
Sama sekali ayah tidak mengatakan bahwa dia akan mengambil sepedanya!
“Ayo cepat lakukan!”kata ayah lagi.”Kami sudah ceritakan pada Tuan Amerika ini bagaimana SEBENARNYA Negara ini.”
Orang Amerika itu memandangi sepatu kayu itu dengan rasa senang. Dia berkata,”Oh, sepatu kayu asli. Untuk gadis kecilku. Sepatu kayu ASLI, seperti yang dikenakan oleh semua anak di Belanda.
Turis itu berkata dalam Bahasa Inggris, tapi Jan mengerti apa yang dimaksudnya. Dengan bersiul-siul, Jan segera berlari ke atas untuk mandi.