SEPATU KAYU


Karya Annie M.G Schmidt
Judul asli Wooden Shoes

Cerita dari Belanda

Banyak orang mengira bahwa setiap orang di Belanda masih mengenakan sepatu kayu. Tentu saja, tapi hanya sebagian, terutama para petani dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Tapi, sepatu kayu yang asli benar-benar sulit dicari, seperti yang dialami Jan yang berusaha mendapatkannya untuk seorang turis asing.

Hari itu Sabtu di bulan Maret dan beberapa motor tampak parkir di depan sebuah petatkraam, tempat di mana kentang goreng dan es krim dijual. Jan meletakkan sepedanya di dekat salah satu motor dan berjalan ke dalam. Diletakkannya beberapa buah uang logam di depan counter dan berkata’, Es krim satu.”
Kees, mengenakan jas putihnya, berdiri di belakang counter sedang menggoreng kentang. “Di cuaca dingin begini?” tanyanya.”Lihat, salju juga masih turun?! Yeah, tapi tentu kau bisa mendapatkannya.”
Di sudut toko, semua pengendara motor sedang duduk-duduk bersama. Di tengah-tengah , seorang asing sedang mencoba menerangkan sesuatu kepada mereka. Dia mengangkat kedua telunjuknya dan membuat gerakan seolah-olah hendak menunjukkan seberapa besar ikan yang telah ia tangkap.
“Pasti ikan yang telah dia tangkap kecil sekali.” Pikir Jan,”hanya sebesar sepatunya.”
Para pengendara motor memandang ke arah orang asing itu dan menggelengkan kepala.
“Yang sedang berdiri itu orang Amerika,”kata Kees.”Turis.”
Turis! Jan tahu turis dari televisi, tapi dia belum pernah bertemu langsung. Mereka tidak pernah datang ke sini karena memang tidak ada yang menarik di desa kecil ini- yang ada hanyalah rumah-rumah pembibitan tomat dan timun dan juga pembangunan perumahan.
Dan laki-laki itu adalah turis! Dia tampak biasa saja, dia memakai celana dan sweater seperti para lelaki di desa ini.
“Dia ingin membeli sepatu kayu,” kata Kees.”Sepatu anak-anak untuk anak perempuannya. Dia sedang menunjukkan ukuran sepatu itu. Dia datang secara khusus dari Rotterdam. Naik Bis. Hanya untuk membeli sepatu kayu tersebut. Aku sudah bilang padanya,’ Kau seharusnya pergi ke kota, carilah di toko souvenir.’ Dia bilan TIDAK, dia ingin sepatu asli seperti yang dipakai oleh orang-orang di sini. Kau tahu toko di mana dijual sepatu kayu Jan?”
Jan menjilati es krimnya. Es krim pink dalam contong.
“Pertanyan yang sulit,”Kees melanjutkan.”Dan tak seorang pun disini yang bisa menjawabnya. Lagipula, siapa yang masih memakai sepatu kayu? Orang-orang Amerika itu mengira bahwa kita semua di sini masih memakai sepatu kayu. Bukankah itu aneh?”
“Ibuku tahu di mana terdapat toko sepatu kayu,” kata Jan.
“Kau dengar itu?”teriak Kees kepada pelanggannya.’Anak laki-laki ini tahu di mana bisa mendapatkan sepatu kayu!”
Setiap orang memandang Jan dengan rasa hormat. Jan berharap agar Kees diam.
Tak lama kemudian Jan sudah berada diluar petatkraam dengan menggenggam sepuluh guilder di tangannya pemberian orang Amerika yang penuh senyum itu. Dia juga membawa seutas benang yang menunjukkan ukuran sepatu yang diinginkan orang Amerika itu. Jan mengambil sepedanya dan mulai mengayuh pulang. Tiba-tiba, ia teringat kalau ibunya sedang tidak berada di rumah sampai nanti makan malam. Tapi barangkali ayahnya tahu di mana toko itu berada.
Ayahnya sedang berada di ruang duduk bermain catur bersama Fred, kakak Jan.
“Yah, tahukah kau di mana toko sepatu kayu berada?’
“Kau memerlukan sepatu kayu untuk apa?” tanya ayahnya.
Ada orang Amerika di petatkraam. Dia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan sepatu kayu untuk anaknya.”
Ayah berdiri.”Sungguh bodoh!” dia berteiak marah. “Orang-orang asing ini mengira kita masih berjalan menggunakan sepatu itu? Di mana laki-laki itu?”
“Di petakraam,” Jan mengulangnya.
“Katakan padanya ini adalah negara modern,” geram ayahnya. “Kita punya pabrik-pabrik besar seperti di Amerika. Dan pelabuhan terbesar di dunia. Ya pak, Rotterdam! Katakan padanya bahwa kita bukan petani yang memakai sepatu kayu, tapi sebuah Negara yang bangga dengan SISTEM PENGAIRAN. Selama ratusan tahun kita telah menutup lautan dan kita melakukannya dengan membuat saluran air, bendungan dan jembatan!”
Ayah memukulkan kepalan tangannya ke atas meja. Jan meloncat ke belakang,terkejut. Perlukah dia mengatakan semua ini kepada orang asing tersebut? Yang bahkan tidak tahu bahasa Belanda?
Dan bahkan kini Fred ikut-ikutan berteriak pula,”Tidak,kita tidak memakai sepatu kayu! Kita mengendarai tiga juta mobil yang menyebabkan lalu lintas macet. Dan oh, betapa bangganya kita dengan Negara ini! Di mana ikan terapung-apung mati di sungai, burung-burung tersumbat pernapasannya oleh minyak, di mana pabrik-pabrik mengeluarkan asap berbau busuk hingga meracuni kita semua. Dan di mana semua danau tercemar!”
“Diam!” teriak ayah.”Penjelasanmu sama sekali tidak memecahkan masalah. Mengapa kamu tidak pergi ke tukang cukur dan mencukur rambut panjangmu yang acak-acakan itu?”
Fred balik berteriak. Dan Jan berbalik dan berlari keluar rumah. Selalu seperti itu. Mula-mula ayah dan Fred bermain catur bersama dan kemudian, tiba-tiba BANG – pertengkaranpun terjadi! Dan semua ini gara-gara dia menanyakan di mana dia bisa membeli sepatu kayu!
Satu-satunya yang ingin dilakukan Jan adalah kembali ke petatkraam dan mengatakan pada turis itu bahwa dia tidak tahu di mana toko sepatu kayu itu. Tapi kata ‘danau’ terngiang dalam benaknya. “Hennie,” pikirnya.”Hennie punya sepatu kayu.”
Hennie adalah teman sekelasnya yang tinggal di rumah perahu di Zuiderplas. Sama sekali tidak jauh.
Jan menuju Dike Road yang ramai dan melewati jalan desa. Sepanjang sisi jalan desa terdapat rumah-rumah, sementara di sisi yang lainnya adalah rumah-rumah untuk pembibitan – panjang sekali deretan rumah-rumah pembibitan untuk tomat dan timun itu, berbaris-baris seolah-olah tidak berujung.
Tiba-tiba angin bertiup di atas kepalanya – angin yang sangat keras. Sekali-sekali angin itu menghantam sepedanya oleng ke kiri ke kanan, tapi Jan sudah terbiasa dengan keadan itu. Ibunya selalu mengeluh,”Anak kecil mengendarai sepeda di tengah lalu lintas. Dia baru delapan tahun.”Tapi ayahnya berkata,” Jangan terlalu mengada-ada. Semua anak juga mengendarai sepeda di tengah lau lintas, dan kau tahu,anak itu memegang stang sepedanya lebih baik daripada dirimu.” Ya, itu memang benar.
Jan berbelok ke kiri dan menyeberangi jembatan. Di sepanjang jalan yang lebar dan sunyi itu terdapat sebuah kanal besar. Dua kali dalam kehidupannya dia pernah jatuh ke dalam kanal itu – sekali ketika dia sedang memancing, dan kedua kalinya ketika dia tengah mengendarai sepedanya. Ayah berkata,”Jika kau terjatuh sekali lagi kedalam kanal itu, aku akan ambil sepedamu dan kau akan berjalan kaki ke sekolah!”
Beberapa burung kecil terbang di atas kepalanya. Sesekali dilihatnya sesuatu berlompatan di dalam air, ikan kecil-kecil. Tidak semua ikan kecil itu mati, pikir Jan sementara dia berusaha menerobos angin yang menerpanya. Dan lihat berapa bayak burung yang belum mati!
Beberapa saat, matahari muncul dan tampak danau di depannya sangat luas dan sangat biru. Hampir tak terlihat satupun kapal yang sedang berlayar, terlalu awal tahun ini.
Dia menemukan Hennie di atas dek sedang memandikan anjingnya di dalam ember.
“Hello,”sapa Jan.
“Hi,”jawab Hennie.
“Kau masih punya sepatu kayu?”
“Punya apa?”
“Sepatu kayu. Kau memakainya ketika perayaan Queen’s Day.”
“Oh ya,”kata Hennie, sambil melanjutkan memandikan anjingnya. Anjingnya tampak sama sekali tidak suka.
“Aku ingin membelinya,”kata Jan,”seharga sepuluh guilder.”
Hennie melepaskan anjingnya dan makhluk itu mengibas-ngibaskan tubuhnya.
“Aku tidak bisa melakukan ini.”katanya.”Aku tidak bisa menerima uang.”
“Mintalah ijin pada ibumu.”kata Jan.
“Dia sedang tidak ada di rumah. Dia pergi mengunjungi nenek.” Tiba-tiba kemudian Hennie berkata,”Aku bisa tukar sesuatu.”
“Tukar sesuatu?”Tanya Jan.
Hennie menunjuk sepatu milik Jan. Jan mengenakan sepatu corduroy warna biru dengan sol karet. Jan ragu-ragu. Jika dia menukar sepatunya dengan sepatu kayu itu, dia bisa menyimpan sepuluh guilder. Uang itu ada dalam kantongnya. Bisakah dia membeli sepatu yang sama dengan uang sepuluh guilder? “Okay,” katanya dan melepaskan sepatunya.
Segera Hennie mengenakannya dan berlarian dari atas ke bawah dek.
“Ambil sepatu kayu itu sekarang!” kata Jan tidak sabar.
Hennie masuk ke dalam. Anjingnya menyalak-nyalak garang ke arah Jan. Bulu-bulunya masih penuh dengan busa sabun.
“Ini dia,”katanya sambil terengah-engah ketika akhirnya dia kembali dengan sepatu kayu di tangannya.”Sepatu ini disimpan di lemari pakaian. Apakah kau bisa membawanya dengan mengendarai sepeda?”
Jan mengangguk sambil memeriksa ukuran sepatu kayu tersebut dengan seutas benang. Pasti akan agak sedikit kebesaran, tapi tidak terlalu buruk. Sepatu ini pas sekali dengannya. Hm, sungguh benda berbunyi yang aneh!
“Terima kasih, ya,”katanya.”Selamat tinggal, Hennie.”
Cuaca berubah menjadi begitu buruk. Angin bertiup dengan lebih kencang. Hujan mulai turun dari awan hitam yang bergumpal-gumpal.
Ketika Jan mengendarai sepedanya, sepatu kayu itu terus berayun –ayun di depan pedal sepedanya. Sekali lagi, dia harus melewati jalan lebar yang penuh dengan angin besar yang menerpa dirinya. Ketika dia hendak berbelok menuju Dike Road, jauh sebelum dia mencapai jembatan – tiba-tiba..terjadilah! Salah satu sepatu kayu itu terjatuh. Dia mencoba menangkapnya dengan kaki, tapi di kehilangan keseimbangan dan angin besar mendorongnya masuk ke dalam kanal - bukan hanya dirinya, tapi juga sepeda dan semuanya!
Jan tersengal-sengal dan meludah sambil mencengkeram alang-alang sepanjang kanal hingga tercabut. Dia tidak perlu berenang. Sisi kanal itu ternyata dangkal. Ketika dia berhasil merangkak ke tepian, dia bisa mencapai stang sepedanya tapi kemudian mendorongnya masuk ke dalam kanal.
Satu dari sepatu kayu itu tergeletak di tengah jalan. Dan yang lain terapung-apung seperti sebuah kapal di tengah kanal.
“Aku tidak akan mengambil benda bodoh itu,”teriak Jan.”Biar saja orang Amerika itu pergi.Aku kehilangan sepatuku, dan sekarang, pasti ayah akan mengambil sepedaku!”
Tapi dia kebmali lagi ke kanal dan tak lama kemudian sudah berdiri di jalan dengan membawa sepatu kayu itu. Dengan rasa marah,dia meluruskan stang sepedanya, meletakkan sepatu kayu itu di dalam keranjang sepedanya, dan mulai megayuh sepedanya pulang dengan kaki beku. Yang dirasakannya sekarang angin bertiup semakin dingin ke celah-celah jaket nilonnya.
Dia berbelok ke tikungan jalan dan mulai memasuki Dike Road kembali. Mobil dan motor melewatinya dekat sekali. Tak seorangpun melihat ke arahnya. Tak seorangpun yang tahu dia basah kuyub.
Dan ada satu hal yang memburuk. Angin benar-benar berada di belakang punggungnya. Badai pun sudah menunggu.
Hari hampir gelap ketika Jan tiba di petatkraam. Kees satu-satunya orang yang ada di sana.
“Astaga!”kata Kees.”Orang Amerika itu baru saja pergi!”
“Ke mana dia pergi?” Tanya Jan.” Aku sudah mendapatkan sepatu kayu itu.”
“Aku tidak tahu. Barangkali ke Rotterdam. Sekarang sudah jam enam. Semua orang pergi untuk makan malam.”
Kees menatap anak laki-laki kecil itu.”Kau tampak pucat sekali,”teriaknya.”Kemarilah! Kau baru saja masuk ke dalam air?”
Jan berlari keluar toko dengan kepala tertunduk. Dia merasa kesal. Satu-satunya keinginannya adalah bertemu ibunya. Ketika dia tiba, dia baru teringat bawa ibunya tidak sedang berada di rumah. Pasti akan sama saja, pikirnya. Terbayang sudah apa yang ibu katakana,”APA yang terjadi? DIMANA sepatumu? CEPAT pergi tidur. Besok kau akan kena pneumonia!”
Sekarang diam-diam dia bisa naik ke kamar, mandi, dan mengeringkan pakaiannya. Hari Senin nanti, dia akan membeli sendiri sepatu yang baru. Lembaran sepuluh guilder basah di sakunya, tapi untung dia masih memilikinya.
Ketika dia tengah berjingkat-jingkat menaiki anak tangga, didengarnya ayahnya tengah berbicara dengan Fred di ruang duduk. Dia berdiri kaku seperti tongkat besi. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris! Diam-diam Jan membuka pintu ruang duduk.
Di sana di kursi kulit dekat lampu, duduk orang Amerika itu. Fred sedang berbicara dengannya separuh menggunakan bahasa Inggris, separuh lagi menggunakan bahasa Belanda, sedang berteriak-teriak tentang polusi udara.
“Tidak. Tidak!” teriak ayah pula. “SISTEM PENGAIRAN!”
Dan orang Amerika itu mendengarkan mereka dengan sopan. Tiba-tiba dia melihat Jan. Dia bangkit dan berkata,”Hello!”
“Demi Tuhan, itu dia!” kata Fred.
“Dari mana saja kau?” tanya ayah.”Kami sangat khawatir.”Fred pergi mencarimu dan dia kembali bersama laki-laki ini.”
Jan memegang sepasang sepatu kayu di depannya.
“Anak ini basah kuyub!” teriak ayah. “Apakah di luar sedang hujan deras? Oh, dengar, apakah kau terjatuh ke dalam selokan LAGI?”
“Aku pergi mencarimu di petatkraam,”kata Fred.”dan dia tiba-tiba muncul dan bertanya tentang bis. Dia bilang bahwa kau belum kembali. Kemudian aku bilang,’Tuan, jika adikku telah berjanji untuk untuk mendapatkan sepatu kayu itu, dia pasti mendapatkannya, meskipun dia harus mencarinya di Kutub Utara sekalipun!”
“Di dalam kanal,”teriak ayah,”aku tak percaya. Cepat mandi dengan air hangat, sementara aku akan membuatkanmu secangkir coklat.”
Sama sekali ayah tidak mengatakan bahwa dia akan mengambil sepedanya!
“Ayo cepat lakukan!”kata ayah lagi.”Kami sudah ceritakan pada Tuan Amerika ini bagaimana SEBENARNYA Negara ini.”
Orang Amerika itu memandangi sepatu kayu itu dengan rasa senang. Dia berkata,”Oh, sepatu kayu asli. Untuk gadis kecilku. Sepatu kayu ASLI, seperti yang dikenakan oleh semua anak di Belanda.
Turis itu berkata dalam Bahasa Inggris, tapi Jan mengerti apa yang dimaksudnya. Dengan bersiul-siul, Jan segera berlari ke atas untuk mandi.

No comments: